Minggu, 05 Februari 2017

materi bahasa jawa

Aksara Jawa, dikenal juga sebagai Hanacaraka (ꦲꦤꦕꦫꦏ) dan Carakan (ꦕꦫꦏꦤ꧀),[1] adalah salah satu aksara tradisional Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan sejumlah bahasa daerah Indonesia lainnya seperti bahasa Sunda dan bahasa Sasak[2] Tulisan ini berkerabat dekat dengan aksara Bali.
Dalam sehari-hari, penggunaan aksara Jawa umum digantikan dengan huruf Latin yang pertama kali dikenalkan Belanda pada abad ke-19.[1] Aksara Jawa resmi dimasukkan dalam Unicode versi 5.2 sejak 2009. Meskipun begitu, kompleksitas aksara Jawa hanya dapat ditampilkan dalam program dengan teknologi Graphite SIL, seperti browser Firefox dan beberapa prosesor kata open source, sehingga penggunaannya tidak semudah huruf Latin. Kesulitan penggunaan aksara Jawa dalam media digital merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kurang populernya aksara tersebut selain di kalangan preservasionis.

Ciri-ciri[sunting | sunting sumber]

Suku kata /ka/ ditulis dengan satu aksara. Tanda baca dapat mengubah, menambahkan, atau menghilangkan vokal suku kata tersebut. Aksara memiliki beberapa bentuk untuk menulis nama, pengejaan asing, dan konsonan bertumpuk
Aksara Jawa adalah sistem tulisan Abugida yang ditulis dari kiri ke kanan. Setiap aksara di dalamnya melambangkan suatu suku kata dengan vokal /a/ atau /ɔ/, yang dapat ditentukan dari posisi aksara di dalam kata tersebut. Penulisan aksara Jawa dilakukan tanpa spasi (scriptio continua)[3], dan karena itu pembaca harus paham dengan teks bacaan untuk dapat membedakan tiap kata. Selain itu, dibanding dengan alfabet Latin, aksara Jawa juga kekurangan tanda baca dasar, seperi titik dua, tanda kutip, tanda tanya, tanda seru, dan tanda hubung.
Aksara Jawa dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsinya. Aksara dasar terdiri dari 20 suku kata yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa modern, sementara jenis lain meliputi aksara suara, tanda baca[4], dan angka Jawa[2]. Setiap suku kata dalam aksara Jawa memiliki dua bentuk, yang disebut nglegena (aksara telanjang), dan pasangan (ini adalah bentuk subskrip yang digunakan untuk menulis gugus konsonan).
Kebanyakan aksara selain aksara dasar merupakan konsonan teraspirasi atau retrofleks yang digunakan dalam bahasa Jawa Kuno karena dipengaruhi bahasa Sanskerta. Selama perkembangan bahasa dan aksara Jawa, huruf-huruf ini kehilangan representasi suara aslinya dan berubah fungsi.
Sejumlah tanda diakritik yang disebut sandhangan berfungsi untuk mengubah vokal (layaknya harakat pada abjad Arab), menambahkan konsonan akhir, dan menandakan ejaan asing[3]. Beberapa tanda diakritik dapat digunakan bersama-sama, namun tidak semua kombinasi diperbolehkan.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Aksara Jawa sedang diajarkan pada sekolah periode kolonial.
Tulisan Jawa dan Bali adalah perkembangan modern aksara Kawi, salah satu turunan aksara Brahmi yang berkembang di Jawa. Pada masa periode Hindu-Buddha, aksara tersebut terutama digunakan dalam literatur keagamaan dan terjemahan Sanskerta yang biasa ditulis dalam naskah daun lontar.[2] Selama periode Hindu-Buddha, bentuk aksara Kawi berangsur-angsur menjadi lebih Jawa, namun dengan ortografi yang tetap. Pada abad ke-17, tulisan tersebut telah berkembang menjadi bentuk modernnya dan dikenal sebagai Carakan[5] atau hanacaraka berdasarkan lima aksara pertamanya.
Carakan terutama digunakan oleh penulis dalam lingkungan kraton kerajaan seperti Surakarta dan Yogyakarta untuk menulis naskah berbagai subjek, di antaranya cerita-cerita (serat), catatan sejarah (babad), tembang kuno (kakawin), atau ramalan (primbon). Subjek yang populer akan berkali-kali ditulis ulang.[6] Naskah umum dihias dan jarang ada yang benar-benar polos. Hiasan dapat berupa tanda baca yang sedikit dilebih-lebihkan atau pigura halaman (disebut wadana) yang rumit dan kaya warna.
Pada tahun 1926, sebuah lokakarya di SriwedariSurakarta menghasilkan Wewaton Sriwedari (Ketetapan Sriwedari), yang merupakan landasan awal standardisasi ortografi aksara Jawa.[7] Setelah kemerdekaan Indonesia, banyak panduan mengenai aturan dan ortografi baku aksara Jawa yang dipublikasikan, di antaranya Patokan Panoelise Temboeng Djawa oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada 1946,[7] dan sejumlah panduan yang dibuat oleh Kongres Bahasa Jawa (KBJ) antara 1991 sampai 2006.[8][9] KBJ juga berperan dalam implementasi aksara Jawa di Unicode.
Namun dari itu, penggunaan aksara Jawa telah menurun sejak ortografi Jawa berbasis huruf latin ditemukan pada 1926,[1] dan sekarang lebih umum menggunakan huruf latin untuk menulsi bahasa Jawa. Hanya beberapa majalah dan koran yang masih mencetak dalam aksara Jawa, seperti Jaka Lodhang. Aksara Jawa masih diajarkan sebagai muatan lokal pada sekolah dasar dan sekolah menengah di provinsi yang berbahasa Jawa.

Aksara[sunting | sunting sumber]

Sebuah aksara (ꦲꦏ꧀ꦱꦫ​), adalah satuan terkecil yang merepresentasikan suku kata terbuka (Konsonan-Vokal) dengan vokal /a/ atau /ɔ/ tergantung dari posisinya.[3] Namun vokal juga tergantung dari dialek pembicara; dialek Jawa Barat cenderung menggunakan /a/ sementara dialek Jawa Timur lebih cenderung menggunakan /ɔ/. Aturan baku penentuan vokal aksara dideskripsikan dalam Wewaton Sriwedari sebagai berikut:
  1. Sebuah aksara dibaca dengan vokal /ɔ/ apabila aksara sebelumnya mengandung sandhangan swara.
  2. Sebuah aksara dibaca dengan vokal /a/ apabila aksara setelahnya mengandung sandhangan swara.
  3. Aksara pertama sebuah kata umumnya dibaca dengan vokal /ɔ/, kecuali dua aksara setelahnya merupakan aksara dasar. Jika begitu, aksara tersebut dibaca dengan vokal /a/.
Ketika ditransliterasikan ke dalam alfabet Latin, sebuah aksara ditransliterasikan menjadi suku kata, bukan huruf.
Terdapat 34 aksara konsonan dan 11 aksara suara (vokal) dalam aksara Jawa (di luar aksara tambahan), namun tidak semuanya digunakan dalam penulisan modern. Tabel berikut menunjukkan aksara Jawa dengan bunyi aslinya yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa Kuno dan Sanskerta:
Aksara Jawa
Tempat pelafalanPancawalimukhaSemivokalSibilanCelahVokalDiftong
BersuaraNirsuaraSengauPendekPanjang
Velar
(ka)

(kha)

(ga)

(gha)

(nga)

(ha) 4

(a)
ꦄꦴ
(ā)
Palatal
(ca)

(cha) 1

(ja)

(jha)

(nya)

(ya)

(śa)
ꦅ/ꦆ
(i)

(ī)
Retroflex
(ṭa)2

(ṭha)

(ḍa)2

(ḍha)

(ṇa)

(ra)

(ṣa)

(re)
ꦉꦴ
(reu)
Dental
(ta)

(tha)

(da)

(dha)

(na)

(la) 3

(sa)

(le)

(leu)
Labial
(pa)

(pha)

(ba)

(bha)

(ma)

(wa)

(u)
ꦈꦴ
(ū)
Velar-Palatal
(e)

(ai)
Velar-Labial
(o)
ꦎꦴ
(au)
^1 Hanya ditemukan dalam bentuk pasangan (lihat di bawah). Bentuk aslinya sudah tidak diketahui lagi[2]
^2 Ḍa dan ṭa lebih umum ditulis dha dan tha. Penulisan ini digunakan untuk membedakan dha (ɖa) dan tha (ʈa) retroflex dalam bahasa Jawa modern dengan dha (d̪ha) dan tha (t̪ha) teraspirasi dalam bahasa Jawa kuno.
^3 Sebenarnya konsonan alveolar, namun diklasifikasikan sebagai dental (gigi).
^4 Dapat dibaca tanpa bunyi /h/, misalnya (/ɔnɔ/, transliterasi: ana, arti: ada)

Konsonan[sunting | sunting sumber]

Ortografi Jawa modern mengabaikan pelafalan asli sejumlah aksara konsonan yang kemudian dialihfungsikan. Dari 34 bunyi di atas, 20 bunyi menjadi aksara dasar (nglegéna) sementara aksara lainnya dikategorikan sebagai murda dan mahaprana, dengan "bunyi" yang sama dengan aksara nglegenanya.
Beberapa istilah dalam aksara Jawa menurut aturan bahasa Jawa modern:
  • Aksara nglegéna (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦔ꧀ꦊꦒꦺꦤ) adalah aksara dasar untuk menulis bahasa Jawa modern.
  • Aksara murda (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦩꦸꦂꦢ) atau aksara gedé digunakan pada penulisan suatu nama, umumnya nama tempat atau orang yang dihormati. Seperti terlihat dalam tabel di atas, tidak semua aksara mempunyai bentuk murda, karena itu apabila suku kata pertama suatu nama tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata kedua yang menggunakan murda. Apabila suku kata kedua juga tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata ketiga yang menggunakan murda, begitu seterusnya. Nama yang sangat dihormati dapat ditulis seluruhnya dengan murda apabila memungkinkan. Misal, "Pakubuwana" ditulis dengan pa, ka, ba, dan na murda (ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ). Aksara murda tidak boleh diberi pangkon dan tidak perlu digunakan pada awal kalimat.
  • Aksara mahaprana (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦩꦲꦥꦿꦤ) adalah aksara yang secara harfiah berarti "dibaca dengan nafas berat". Mahaprana jarang muncul dalam penulisan aksara Jawa modern, oleh karena itu seringkali tidak dibahas dalam buku mengenai aksara Jawa.[2]
Aksara Wyanjana (Konsonan)
Transkripsihanacarakadatasawalapadhajayanyamagabathanga
Nglegéna
Murda1
Mahaprana
^1 Awalnya jnya,ꦗ꧀ꦚ[2] namun pada perkembangannya menjadi huruf mandiri.

Konsonan tambahan[sunting | sunting sumber]

Terdapat beberapa aksara yang dalam perkembangannya dianggap sebagai konsonan. Pa cereknga lelet, dan nga lelet raswadi awalnya adalah konsonan-vokalik /r̥/, /l̥/, dan /l̥:/ yang muncul pada perkembangan awal aksara Jawa karena pengaruh bahasa Sanskerta. Ortografi kontemporer mengelompokkan ketiganya sebagai aksara konsonan[2]yang bernama ganten atau "pengganti", dengan bunyi masing-masing /ɽə/, /ɭə/, dan /ɭɤ/. Aksara ini didefinisikan sebagai aksara dengan vokal tetap yang menggantikan setiap kombinasi ra+pepet (ꦫꦼ menjadi ), la+pepet (ꦭꦼ menjadi )​, dan la+pepet+tarung (ꦭꦼꦴ menjadi )​.[10] Karena sudah memiliki vokal tetap, ketiga aksara tersebut tidak dapat dipasangkan dengan tanda baca vokal.
Konsonanan tambahan lain meliputi ka sasak dan ra agungKa sasak merupakan penulisan tradisional bunyi /qa/ yang digunakan dalam bahasa Sasak, sedangkan ra agung pernah digunakan oleh sejumlah penulis untuk nama orang yang dihormati, terutama anggota kerajaan.[2]
Kebanyakan bunyi yang asing dalam bahasa Jawa ditulis dengan tanda baca cecak telu () di atas aksara yang bunyinya mendekati.[2][4] Aksara semacam itu disebut sebagai aksara rekan atau "aksara rekaan", yang diklasifikan berdasarkan bahasa asalnya. Rekan paling umum berasal dari bahasa Arab dan bahasa Belanda. Terdapat pula dua jenis rekan lainnya yang digunakan untuk menulis bahasa Sunda dan kata serapan bahasa Tionghoa.
Aksara Tambahan
GantenKa sasakRa agung
Nga leletNga lelet RaswadiPa cerek
Aksara Rekan
khadzafavazagha
ꦏ꦳ꦢ꦳ꦥ꦳ꦮ꦳ꦗ꦳ꦒ꦳

Vokal[sunting | sunting sumber]

Vokal murni umumnya ditulis dengan aksara ha sebagai konsonan kosong dengan tanda baca yang sesuai.
Aksara Suara
aiuéo
Pendekꦲꦶ1ꦲꦸꦲꦺꦲꦺꦴ
Selain cara tersebut, terdapat juga aksara-aksara yang merepresentasikan vokal murni bernama aksara swara (ꦲꦏ꧀ꦱꦫ​ꦱ꧀ꦮꦫ) atau "aksara suara" yang digunakan untuk menandakan sebuah nama, seperti halnya aksara murda. Sebagai contoh, kata sifat "ayu" (cantik) ditulis dengan huruf ha (ꦲꦪꦸ). Namun untuk menulis seseorang yang bernama Ayu, aksara suara digunakan untuk mencegah kerancuan (ꦄꦪꦸ). Aksara suara juga digunakan untuk mengeja istilah bahasa asing, misalnya elemen Argon (ꦄꦂꦒꦺꦴꦤ꧀).[7][10] Aksara suara tidak dapat dijadikan sebagai aksara pasangan sehingga aksara sigegan yang terdapat di depannya harus dimatikan dengan pangkon. Walaupun demikian aksara suara dapat diberi sandhangan wignyan, layar, dan cecak.
Aksara Suara
aiuéo
Pendek1
Panjangꦄꦴꦈꦴ2ꦎꦴ2
^1 Dalam teks tua, aksara swara i  digunakan untuk /i:/ panjang, sementara /i/ pendek menggunakan sebuah huruf yang sekarang dikenal sebagai i kawi .
^2 Menjadi sebuah diftong.

Sandhangan[sunting | sunting sumber]

Sandhangan (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀) adalah sejenis aksara yang tidak dapat berdiri sendiri, melainkan merupakan tanda diakritik yang selalu digunakan bersama dengan aksara dasar. Ada tiga macam sandhangan, yaitu sandhangan suara yang berfungsi untuk mengubah vokal huruf dasar, layaknya harakat pada abjad Arabsandhangan sesigeg (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦱꦼꦱꦶꦒꦼꦒ꧀, sandhangan akhir suku kata), dan sandhangan wyanjana (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦮꦾꦤ꧀ꦗꦤ, sandhangan tengah suku kata).[7]

Suara[sunting | sunting sumber]

Sandhangan swara (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦱ꧀ꦮꦫ) atau sandhangan vokal merupakan sandhangan yang paling umum. Terdapat sembilan sandhangan swara, namun vokal tertentu perlu ditulis dengan lebih dari satu sandhangan, kondisi ini terutama umum terjadi pada sandhangan tarung. Sandhangan swara dapat digunakan bersama sandhangan wyanjana.
Sandhangan swara
aiueéo
Pendek
◌ꦶ
wulu
◌ꦸ
suku1
◌ꦼ
pepet2
◌ꦺ
taling
◌ꦺꦴ
taling tarung
◌ꦵ
tolong3
Panjang◌ꦴ
tarung
◌ꦷ
wulu melik
◌ꦹ
suku mendhut1
◌ꦼꦴ
pepet-tarung3
◌ꦻ
dirga mure4
◌ꦻꦴ
dirga mure tarung4
^1 Pasangan ka, ta, dan la, yang menempel dengan suku dan suku mendhut berubah bentuknya menjadi aksara dasar.
^2 Aksara 'ra' dan 'la' tidak dapat dipasangkan dengan pepet (lihat bagian konsonan tambahan).
^3 Hanya digunakan pada penulisan Sunda.[10]
^4 Menjadi sebuah diftong.

Sesigeg[sunting | sunting sumber]

Sandhangan sesigeg panyanggacecak, dan wignyan memiliki fungsi yang sama seperti halnya karakter Devanagari candrabinduanuswara, dan wisarga.[2] Sandhangan sesigeg boleh digunakan bersama dengan sandhangan suara.
Sandhangan Sesigeg
-m-ng-h-r

panyangga 1

cecak2

wignyan

layar
^1 Panyangga umumnya hanya digunakan untuk simbol suci Hindu ꦎꦴꦀ Om.[10]
^2 Posisi sedikit berubah apabila digunakan bersama dengan wulu dan pepetCecak berada di sebelah kanan wulu dan ditulis di dalam pepet

Wyanjana[sunting | sunting sumber]

Sandhangan wyanjana cakracakra keret, dan pengkal berfungsi untuk membentuk gugus konsonan -ra, -re, dan -ya (misalnya "kra", "kre", dan "kya"). Ketiga sandhangan ini awalnya adalah pasangan dari aksara ra, pa cerek, dan ya sebelum dikhususkan menjadi sandhangan tersendiri dalam ortografi Jawa moderen.
Sebagai sebuah pasangan, sandhangan wyanjana bersamaan dengan pasangan wa memiliki sifat panjingan (ꦥꦚ꧀ꦗꦶꦁꦔꦤ꧀), yaitu pasangan yang dapat menempel pada pasangan lain membentuk tiga tumpuk aksara.
Sandhangan Wyanjana
-ra--re--ya-
ꦿ
cakra 1

keret

pengkal
^1 Cakra aslinya terpisah dari aksara, namun lebih umum ditulis menyambung dengan bagian depan aksara seperti pada contoh di​​atas.

Pangkon dan pasangan[sunting | sunting sumber]

Pangkon
Pangkon (ꦥꦁꦏꦺꦴꦤ꧀) memiliki fungsi yang sama seperti halnya virama dalam aksara Brahmi lain, yakni membentuk konsonan akhir dengan menghilangkan vokal inheren suatu huruf dasar. Namun pangkon tidak boleh digunakan untuk konsonan akhir -r, -h, dan -ng karena ketiganya dapat ditulis dengan tanda baca tersendiri. Misal, konsonan akhir -r ditulis dengan layar, tidak boleh dengan ra dan pangkon.
Pangkon juga hanya boleh dipakai di akhir kalimat, dan apabila aksara mati terjadi di tengah kalimat, aksara tersebut perlu ditempeli dengan pasangan. Misal, aksara na yang dipasangkan dengan pasangan da, akan dibaca nda (ꦤ꧀ꦢ).[2] Pasangan dianggap sebagai varian dari glif aksara dasar, karena itu suatu aksara dan pasangannya memiliki kode unicode yang sama. Pasangan akan terbentuk apabila aksara didahului oleh pangkon, misalnya "pasangan da" diketik dengan menulis "pangkon+da" (꧀ꦢ menjadi ◌꧀ꦢ)
Pasangan dapat diberi sandhangan, seperti halnya aksara dasar, dengan beberapa pengecualian pada penempatan. Sandhangan yang berada di atas diletakkan di atas aksara​ dasar, sementara sandhangan yang berada di bawah diletakkan di bawah pasangan. Sandhangan yang berada sebelum dan/atau sesudah aksara dipasang segaris dengan aksara. Sebuah aksara hanya boleh ditempel dengan satu pasangan, atau satu pasangan dengan satu panjingan.
Tatacara penulisan Jawa Hanacaraka tidak mengenal spasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar